Berbagai Perang Sebelum Perang Uhud
Kemenangan Nabi SAW dan pasukan muslimin
atas kaum kafir Quraisy pada Perang Badar ternyata menimbulkan perubahan besar
di jazirah Arabia. Pada mulanya, secara umum
masyarakat Arabia tidak terlalu perduli dengan ‘kehebohan’ yang terjadi pada
suku Quraisy dengan munculnya seseorang, yakni Nabi Muhammad SAW, yang mengaku
sebagai Utusan Allah dan menentang keras penyembahan berhala pada
masyarakatnya. Apalagi kemudian beliau dan kaum muslimin lainnya ‘terusir’ dari
tanah kelahirannya tersebut. Tetapi dengan kemenangan pada Perang Badar tersebut,
mereka mulai menunjukkan sikap serius, yakni menganggap Nabi SAW dan kaum
muslimin sebagai ancaman besar bagi eksistensi mereka.
Sumber : http://percikkisahnabi.blogspot.com/2013/11/berbagai-peristiwa-sebelum-perang-uhud.html
Setidaknya
ada tiga kelompok besar, yakni kaum musyrikin yang berperadaban dalam
kabilah-kabilahnya, seperti suku Quraisy, Ghathafan, dan lainnya. Kedua kaum
musyrikin yang kurang berperadaban, yakni kaum Badui yang senang menjarah dan
merampok kafilah dalam perjalanan. Dan yang terakhir adalah kaum Yahudi.
Sebenarnya
adalah satu kelompok lagi yang tidak kurang berbahayanya, yakni kaum munafik.
Mereka ini bisa dikatakan kelompok abu-abu, di luarnya berbaju Islam, tetapi
jauh di dalam hatinya sangat membenci Nabi SAW dan kaum muslimin. Melihat
kemenangan di Perang Badar, mereka ini merasa tidak mungkin akan bisa mengalahkan
Nabi SAW dan kaum muslimin, karena itu mereka memutuskan memeluk Islam dengan
tujuan untuk memperoleh ‘keamanan’ dan keuntungan materi. Tetapi diam-diam
mereka juga menggerogoti dan melemahkan Islam dari dalam, dan pemimpin kelompok
ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Sejak
awal Nabi SAW membentuk masyarakat muslimin di Madinah, yakni dengan membentuk
persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau telah mengantisipasi
adanya kemungkinan seperti itu. Karena itulah beliau membentuk perjanjian perdamaian
dan kerjasama dengan kelompok-kelompok tersebut, khususnya dengan kaum Yahudi
Madinah, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Piagam Madinah. Tetapi tak
urung, kemenangan kaum muslimin di Badar membuat kekhawatiran akan hilangnya
eksistensi mereka semakin besar, karena itu baik secara diam-diam atau
terang-terangan, kelompok-kelompok tersebut makin memusuhi kaum muslimin di
Madinah.
Peristiwa
pertama, Nabi SAW mendengar berita bahwa kabilah Bani Sulaim, termasuk suku
Ghathafan, menghimpun kekuatan untuk menyerang Kota Madinah. Maka beliau segera
menggerakkan pasukan berkekuatan duaratus orang berkendara unta menuju
perkampungan mereka di Al-Kudr, dan ternyata mereka tidak berani menghadapi dan
lari tunggang langgang, dengan meninggalkan limaratus ekor unta yang menjadi
ghanimah kaum muslimin.
Di
Makkah, Shafwan bin Umayyah, putra dari Umayyah bin Khalaf, tokoh Quraisy yang
tewas di Perang Badar, membuat rencana dan siasat untuk membunuh Nabi SAW. Ia
mengajak Umair bin Wahb al Jumahi, salah satu algojo Quraisy untuk mewujudkan
rencananya. Shafwan menjanjikan akan membiayai kebutuhan keluarga Umair dan
menutupi semua hutang-hutangnya jika ia mampu membunuh Nabi SAW, dan Umair
menyetujuinya. Konspirasi jahat antara dua orang tersebut diberitahukan malaikat
Jibril kepada Nabi SAW ketika Umair tiba di Madinah.
Akhirnya
Umair memeluk agama Islam karena diplomasi yang dilakukan Nabi SAW, dengan
‘membongkar’ konspirasi jahat yang dilakukannya hanya berdua dengan Shafwan, di
tempat tersembunyi dekat batu besar. Setelah beberapa hari lamanya tinggal di
Madinah untuk mempelajari seluk beluk Islam, ia kembali ke Makkah sebagai
seorang muslim. Beberapa bulan kemudian ia berhijrah ke Madinah, diikuti oleh beberapa
orang Quraisy yang berhasil didakwahi untuk memeluk Islam.
Kaum
Yahudi juga tidak tinggal diam, khususnya Bani Qainuqa yang sebagian
penduduknya mempunyai keahlian pandai besi, termasuk membuat senjata. Mereka
mempunyai pasukan terlatih yang berjumlah 700 prajurit, dan karena itu mereka
tidak segan untuk mengejek dan mengganggu kaum muslimin secara terang-terangan.
Nabi SAW pernah mengingatkan mereka akan perjanjian perdamaian dalam Piagam
Madinah, tetapi mereka masih saja bersikap sombong, bahkan menyepelekan
kemenangan kaum muslimin di Perang Badar. Mereka berkata, “Wahai Muhammad,
janganlah engkau terpedaya dengan dirimu sendiri karena berhasil membunuh
beberapa orang dari kaum Quraisy. Mereka itu orang-orang yang bodoh yang tidak
tahu cara berperang. Jika engkau berperang melawan kami, tentulah engkau akan
tahu kamilah lawan yang sepadan, engkau belum tentu pernah bertemu (berperang)
dengan orang-orang seperti kami….!!”
Mendengar
jawaban seperti itu Nabi SAW tetap bersabar, dan berusaha mematuhi butir-butir
perdamaian yang telah dikukuhkan. Tetapi melihat kesabaran Nabi SAW itu mereka
semakin berani dan lancang saja. Puncaknya adalah peristiwa yang terjadi di
pasar Bani Qainuqa, ketika seorang Yahudi berulah sehingga seorang wanita
muslimah terbuka auratnya. Wanita itu menjerit dan seorang lelaki muslim
membunuh sang Yahudi, lelaki itu ditangkap dan juga dihabisi beramai-ramai oleh
orang Yahudi.
Karena
peristiwa itu, Nabi SAW mengerahkan pasukan untuk mengepung perkampungan Bani
Qainuqa. Kaum Yahudi itu cukup kokoh bertahan di bentengnya karena persediaan
makanan mereka juga melimpah. Tetapi setelah limabelas hari pengepungan, Allah
menyusupkan rasa takut dan akhirnya mereka menyerah. Ketika Nabi SAW akan
memutuskan eksekusi (hukuman) bagi Bani Qainuqa itu, tokoh munafik, Abdullah
bin Ubay yang juga berada di antara pasukan muslimin berulah dengan ‘memaksa’
Nabi SAW untuk meringankan hukuman bagi pengkhianat perjanjian, bahkan kalau memungkinkan
memaafkan. Nabi SAW akhirnya hanya melakukan pengusiran kaum Yahudi Bani
Qainuqa, dan tidak lagi ‘bertetangga’ dengan Madinah. Dalam tarikh Islam,
peristiwa ini disebut dengan Perang Bani Qainuqa.
Dari
Makkah, Abu Sufyan bersama duaratus orang bersekongkol dengan kaum Yahudi
Madinah untuk membunuh Nabi SAW. Ia telah bernadzar untuk tidak membasahi
rambutnya dengan air sebelum ia menyerang Kota Madinah. Tetapi ketika telah
berada di bukit Naib, sekitar 12 mil atau 18 km di luar kota Madinah, ternyata ia tidak punya
keberanian masuk ke Madinah dengan terang-terangan untuk melakukan pertempuran.
Pada malam harinya barulah mereka mengendap-endap memasuki kawasan pemukiman
kaum Yahudi. Pertama ia mendatangi rumah Huyai bin Akhtab, tetapi tokoh Yahudi
ini menolak menampungnya karena takut menyalahi perjanjiannya dengan Nabi SAW.
Kemudian ia mendatangi Sallam bin Misykam, tokoh Yahudi lainnya yang mau
menampungnya.
Keesokan
harinya Abu Sufyan memerintahkan pasukannya untuk membabat dan membakar kebun
kurma milik kaum muslimin di pinggiran kota
Madinah. Dua orang Anshar yang berada di kebun itu juga dibunuh. Setelah itu ia
berpendapat bahwa ia telah memenuhi nadzarnya, dan ia kembali ke Makkah bersama
pasukannya. Nabi SAW langsung bereaksi atas tindakannya tersebut dengan
mengirim dan memimpin sendiri pasukan untuk melakukan pengejaran.
Mendengar
adanya pengejaran itu, Abu Sufyan mempercepat gerak pasukan, bahkan
memerintahkan untuk meninggalkan perbekalannya berupa sawiq (tepung gandum) untuk
tidak memperlambat perjalanan. Pasukan muslimin bergerak hingga Qarqaratul
Kadr, tetapi tidak mungkin lagi mengejar pasukan kafir Quraisy tersebut. Mereka
hanya mendapati perbekalan yang ditinggalkannya berupa sawiq, sehingga dalam
sejarah Islam, peristiwa ini disebut dengan Perang Sawiq.
Pada
Bulan Muharan tahun 3 Hijriah, Nabi SAW mendengar berita bahwa Bani Tsa’labah
dan Bani Muharib, termasuk suku Ghathafan, bersekutu untuk menyerang
daerah-daerah di sekitar Madinah, dengan harapan akan bisa melemahkan kekuatan
Islam yang mulai tumbuh. Beliau langsung mengerahkan 450 orang prajurit dan
memimpinnya sendiri untuk mendatangi dua kabilah tersebut. Di tengah perjalanan
mereka bertemu dengan seorang lelaki dari Bani Tsa’labah bernama Jabbar. Ketika
dihadapkan kepada Nabi SAW, beliau mengajaknya untuk memeluk Islam dan ia
memenuhinya. Jabbar diperintahkan mendampingi Bilal sebagai penunjuk jalan dan
ia membawa pasukan muslimin ke tempat berkumpulnya pasukan musuh di mata air
Dzi Amar.
Ketika
melihat kedatangan Nabi SAW dan pasukannya dari kejauhan, mereka langsung
berlarian, berpencar dan bersembunyi menuju gunung-gunung di sekitarnya untuk
menyelamatkan diri. Nabi SAW tinggal di mata air itu selama sebulan penuh
dengan posisi siap siaga, tetapi tidak ada gangguan dari kabilah-kabilah di
daerah Najd tersebut. Hal ini makin
memperkokoh eksistensi pemerintahan baru kaum muslimin di Jazirah Arabia, yang berpusat di Madinah. Peristiwa ini disebut
dengan Perang Dzi Amar.
Salah
satu tokoh Yahudi yang sangat membenci Nabi SAW adalah Ka’b bin Asyraf, dari
kabilah Bani Nadhir. Ia orang yang sangat kaya dan mempunyai pengaruh yang
besar di Jazirah Arabia karena sering berbuat
baik kepada orang-orang Arab. Ia mempunyai benteng sendiri yang cukup kokoh, di
bagian belakang perkampungan Yahudi Bani Nadhir, sisi tenggara dari Kota
Madinah. Ia juga seorang penyair, dan dengan syair-syairnya itu ia sering
memperolok dan menyakiti Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya. Dengan syairnya
pula ia mempengaruhi orang-orang di Jazirah Arabia
untuk memusuhi Islam, bahkan untuk membunuh Nabi SAW. Setelah Perang Badar, ia
mendatangi kaum Quraisy di Makkah dan membangkitkan semangat mereka untuk kembali
memerangi kaum muslimin.
Karena
sikap-sikapnya itulah suatu ketika Nabi SAW menawarkan kepada para sahabat,
siapa di antara mereka yang bisa membunuh Ka’b bin Asyraf. Tanggapan pertama
datang dari Muhammad bin Maslamah yang sebenarnya sangat mengenal dan berteman
baik dengan tokoh Yahudi tersebut sejak masih beragama jahiliah. Dengan tiga atau
empat sahabat lainnya, mereka menuju benteng Ka’b bin Asyraf, dan dengan siasat
yang jitu, mereka berhasil membunuhnya. (Kisah selengkapnya tentang terbunuhnya
tokoh Yahudi tersebut bisa dilihat pada kisah sahabat Muhammad bin Maslamah,
pada Laman : Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW atau pada blognya).
Terusirnya
kaum Yahudi Bani Qainuqa dari Madinah dan terbunuhnya Ka’b bin Asyraf
menyebabkan orang-orang Yahudi di Madinah lebih menaruh hormat kepada Nabi SAW
dan Islam, atau lebih tepatnya ketakutan, sehingga mereka tidak lagi berani
menyalahi perjanjian pada Piagam Madinah. Tetapi diam-diam mereka tetap menaruh
dendam dan permusuhan kepada Islam, walau mungkin tidak terekpresikan secara
jelas.
Nabi
SAW juga mendengar kabar bahwa beberapa kabilah di Hijaz sedang menghimpun
kekuatan untuk menyerang Madinah, maka beliau memobilisasi pasukan hingga
tigaratus orang. Beliau membawa pasukan tersebut hingga di suatu tempat yang
disebut Buhran di Hijaz. Sekitar satu bulan lamanya pasukan muslimin tinggal di
sana, dari
Rabiul Akhir 3 H hingga Jumadil awal 3 H, tetapi tidak terjadi sesuatu yang
berarti. Mungkin mereka merasa ketakutan setelah melihat kehadiran Nabi SAW dan
pasukannya di daerahnya tersebut. Peristiwa ini disebut dengan istilah Perang
Buhran.
Memasuki
Bulan Jumadil Akhir 3 H, seperti biasanya ketika memasuki musim panas, kaum
Quraisy Makkah mempersiapkan kafilah dagangnya ke Syam, dan mereka telah
menunjuk pemimpinnya, yakni Shafwan bin Umayyah, tetapi mereka mengalami
dilema. Pengalaman sebelum terjadinya Perang Badar di mana terjadi penghadangan
oleh kaum Muslimin membuat mereka berfikir dua kali untuk melewati jalur yang
biasa dilewatinya. Tetapi untuk melewati jalur pantai di sisi barat Jazirah
Arabia mereka juga khawatir, karena kebanyakan penduduk di pesisir telah
menjalin perjanjian damai dengan Nabi SAW. Setidaknya mereka akan mengabarkan
keberadaan kafilah dagangnya kepada beliau.
Kelangsungan
kehidupan di Makkah memang tergantung pada perniagaan yang mereka jalankan.
Pada musim panas mereka mengirim kafilah dagang ke Syam, sedang pada musim
dingin ke Habasyah. Kalau perniagaan terhambat mereka akan mengalami krisis,
karena itulah tidak bisa tidak kafilah itu harus diberangkatkan. Ketika mereka
mengalami kebuntuan, Aswad bin Abdul Muthalib menyampaikan usulnya,
“Tinggalkanlah jalur pantai, dan ambillah jalur Irak!!”
Jalur
Irak adalah jalur perdagangan ke Syam, melewati
bagian Timur dari Madinah, jalur yang sangat jauh memutar jika dari Makkah dan
jarang dilewati. Orang-orang Quraisy
sendiri tidak ada yang mengetahui jalur tersebut, maka Aswad mengusulkan untuk
mengangkat Furat bin Hayyan dari kabilah Bakr bin Wail sebagai penunjuk jalan,
yang memang cukup mengenal daerah tersebut. Ketika didatangkan, Furat berkata,
“Teman-teman Muhammad tidak pernah menginjakkan kakinya di jalan ke Irak, jalanan
itu merupakan dataran tinggi dan padang
pasir.”
Kafilah
dagang tersebut segera diberangkatkan dengan diam-diam, hanya sedikit saja kaum
Quraisy yang mengetahuinya. Nabi SAW dan kaum muslimin, termasuk mata-mata yang
beliau sebarkan, sebenarnya tidak mengetahui rencana kafilah dagang dengan
jalur yang tidak biasanya dan tidak terduga tersebut. Tetapi tentunya mudah
bagi Allah jika ingin memberikan jalan dan pemberitahuan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya.
Ada seorang Quraisy
bernama Sulaith bin Nu’man yang telah memeluk Islam, tetapi masih tinggal di
Makkah tanpa diketahui keislamannya oleh kaum Quraisy. Suatu ketika ia asyik
minum-minum khamr bersama Nu’aim bin Mas’ud al Asyjai (yang baru memeluk Islam
pada saat Perang Khandaq), dan tanpa menyadarinya karena pengaruh khamr yang
sangat kuat, Nu’aim menceritakan tentang keberangkatan kafilah dagang Quraisy
tersebut. Mendengar kabar rahasia itu, diam-diam Sulaith pergi ke Madinah dan
memberitahukannya kepada Nabi SAW.
Nabi
SAW langsung membentuk pasukan berkekuatan seratus orang dengan pimpinan Zaid
bin Haritsah. Mereka langsung memacu tunggangannya menembus pada pasir dan
tinggal di Qardah untuk melakukan pencegatan. Begitu kafilah dagang Quraisy itu
muncul, mereka melakukan serangan mendadak. Tentu saja Shafwan dan rombongannya
kalang kabut mendapat serangan tidak terduga itu, dan mereka memilih untuk
menyelamatkan diri kembali ke Makkah. Barang-barang perniagaannya ditinggalkan
begitu saja dan menjadi ghanimah bagi kaum muslimin. Furat bin Hayyan
tertangkap sebagai tawanan, tetapi kemudian ia memeluk Islam di hadapan Nabi SAW.
Peristiwa
ini memicu kemarahan kaum Quraisy, dan akhirnya mereka membentuk pasukan untuk
melakukan serangan ke Madinah, yang kemudian dikenal sebagai Perang Uhud.Sumber : http://percikkisahnabi.blogspot.com/2013/11/berbagai-peristiwa-sebelum-perang-uhud.html
Komentar